Ruang Sebagai Produksi Sosial Dalam Henri Lefebvre

Oleh: Robertus Robet

Henri Lefebvre lahir 16 Juni 1901. Wafat 29 Juni1991. Ia menulis lebih dari 60 karya dengan berbagai topik yang merentang dari filsafat, politik, sosiologi, sastra dan musik serta studi perkotaan. Ia dikenal sebagai seorang Marxist-heterodoks karena dalam pemikirannya sebagai Marxis ia melibatkan juga fenomenologi, eksistensialisme dan strukturalisme, surealisme dan dadaisme. Sebagaimana kebanyakan intelektual Perancis di jamannya, Lefebvre menjadi anggota Partai Komunis Perancis (PCF) di tahun 1928 namun keluar pada tahun 1958. Ia mengepalai CNRS atau Centre National de la Recherche Scientifique (1949-1961) dan menikmati karir sebagai guru besar di Strassbourg dari 1961-1965.

Ruang Sebagai Produk Sosial

Menurut Lefebvre, ruang senantiasa adalah ruang sosial karena space is a social product. Untuk memahami ruang sebagai produk sosial, pertama-tama penting bagi kita untuk ke luar dari kebiasaan dan pemahaman lama dalam memahami ruang sebagaiman dibayangkan sebagai semacam realitas material yang independen atau pemahaman ruang sebagai swadiri (space in itself). Bertentangan dengan pandangan ruang sebagai swadiri, Lefevbre menggunakan konsep production of space (produksi ruang), yang berisi pemahaman ruang yang secara fundamental terikat pada realitas sosial. Baginya pemahaman ruang sebagai in itself, tidak akan pernah menemukan titik mula epistemologis yang memadai. Ia menegaskan bahwa ruang tidak pernah ada “sebagaimana dirinya”, ia diproduksi secara sosial. Sebelum menjelaskan bagaimana ruang menjadi ruang sosial. Lefebvre membagi dua jenis ruang yakni: ruang mutlak dan ruang abstrak.

Ruang Mutlak didirikan atas unsur atau fragmen alamiah,

[…] but [the sites’] very consecration ended up by stripping them of their natural characteristics and uniqueness… religious and political in character, was a product of the bonds of sanguinity, soil and language, but out of it evolved a space which was relativized and historical.

Ruang Abstrak adalah,

[…] the forces of history smashed naturalness forever and upon its ruins established the space of accumulation (the accumulation of all wealth and resources: knowledge, technology, money, precious objects, works of art and symbols).

Untuk memhami keterkaitan anatara ruang mutlak dengan ruang abstrak kita mesti memahami penggunaan humanisme Marxis dalam Lefebvre. Untuk lebih menajamkan pemahaman mengenai ruang sebagai sebagai produksi sosial ini, kita dapat mengambil metafora mengenai tenaga kerja yang dikemukakan oleh Marx sebelumnya. Dalam The Contribution to the Critique of Political Economy (1859), Marx mengemukakan bahwa:

The conversion of all commodities into labour-time is no greater an abstraction, and is no less real, than the resolution of all organic bodies into space as concrete abstraction air. Labour, thus measured by time, does not seem, indeed, to be the labour of different persons, but on the contrary the different working individuals seem to be mere organs of this labour.

Jadi, sebelumnya, Marx mengemukakan bahwa dalam kapitalisme buruh (konkret) menghasilkan tenaga kerja (konkret), namun dalam sistem produksi kapitalis, tenaga kerja itu diukur berdasarkan waktu kerja, dalam setiap komoditi terkandung bukan hanya waktu kerja buruh, tetapi juga dimensi “manusia” atau tenaga dari buruh. Komoditi bukan lain adalah bentuk material dari tenaga kerja buruh. Di titik terjadi apa yang disebut dengan istilah abtraksi dari yang konkret. Lefebvre memhami ruang dengan menggunakan cara pikir yang sama dengan pandangan humanis Marx mengenai alienasi tenaga kerja ini. Ruang adalah adalah sesuatu yang konkret yang mengalami “sublasi” hingga dan teralineasi menjadi sesuatu yang abstrak.

Dengan itu menurutnya, ruang yang mengalami abstraksi itu dan tenaga kerja abstrak pada dasarnya memiliki kesamaan yakni bahwa keduanya merupakan hasil dari serangkaian relasi dan praktik ekonomi, politik, teknologi dan budaya. Relasi-relasi ini yang kemudian diikuti dengan pergeseran pada level emosi dan personal, mereka tidak hanya perceived dan conceived tetapi juga hidup dan mengalami dalam kesehariannya.

Jadi menurutnya, Ruang Abstrak adalah ruang yang telah mengalami politisasi dan birokratisasi. Ruang Abstrak yang memproduksi dan mendorong homogenitas sosial. Misi utama Lefebvre adalah mengubah menghadapi masyarakat yang didominasi oleh ruang abstrak. Untuk itu ia memproduksi konsep yang disebutnya sebagai ruang sosial.

Bagi Lefevbre, ruang merupakan suatu yang vital bagi yang sosial. Dalam hal ini ia juga mengakui pentingny apengalaman kehidupan –dalam waktu- dalam produksi sosial ruang. Mengenai hubungan antara ruang dengan waktu dalam pengalaman itu ia menegaskan:

They live time, after all; they are in time. Yet all anyone sees is movements. In nature, time is apprehended within space–in the very heart of space.

Pandangan mengenai “time in and through space” merupakan hal yang sangat penting dalam memahami yang sosial atau “ruang hidup”. Di sini Lefebvre memfokuskan diri pada bagaimana ruang sosial diproduksi. Ruang Sosial bukanlah sebuah “benda” melainkan seperangkat relasi antara obyek-obyek dan produk material.

Untuk menjelaskan ruang sebagai produk sosial ini, Lefebvre mengajukan dimensi triadic dari ruang yang menunjukkan produksi spasial itu yakni:

Pertama, praktik spasial. Konsep ini merujuk pada dimensi berbagai praktik dan aktivitas serta relasi sosial. Klasifikiasi spasial menekankan aspek aktivitas yang simultan. Dalam bentuk yang konkret Pratik spasial berisi berbagai jaringan interaksi, komunikasi serta berbagai proses produksi dan pertukaran dalam masayarakat yang tumbuh dalam kehidupan sehari-hari.

Kedua, representasi ruang. Merujuk pada representasi ruang dalam berbagai imej dan konseptualisasi sehingga sesuatu disebut sebagai ruang. Representasi ruang merujuk pada berbagai upaya verbalisasi bentuk dari ruang: bahasa, ideologi. Lefebvre memberikan contoh peta, kartografi, tanda, informasi pada gambar, maket termasuk berbagai ilmu yang berkenaan dengannya seperti arsitektur, tata-kota bahkan ilmu sosial dan geografi.

Ketiga, ruang representasi. Dimensi ketiga ini disebut oleh Lefebvre sebagai pembalikan dari representasi ruang. Ruang Representasi berisi dimensi simbolik dari ruang. Ruang Representasi menegakkan elemen yang bukan merujuk pada ruang itu sendiri melainkan kepada sesuatu yang lain di luar ruang; kekuatan adikodrati, bahasa, negara, prinsip-prinsip maskulinitas dan feminimitas dsb. Dimensi produksi ruang ini merupakan dimensi imajinatif yang menghubungkan ruang dengan simbol-simbol dan makna seperti monumen, artefak, tugu.

Dalam Praktik Spasial, ruang sosial muncul sebagai rantai yang menghubungkan berbagai jaringan aktivitas di mana di dalamnya juga terdapat dimensi material dari interaksi itu. Dalam Representasi Ruang, praktik spasial secara linguistik didefinisikan dan mendapatkan demarkasi sebagai ruang. Representasi di sini berfungsi sebagai skema yang mengorganisasikan atau kerangka bagi komunikasi dan orientasi yang memungkinkan interaksi sosial. Pada Ruang Representasi terdapat berbagai kompleks pengalaman.

Dengan dasar ketiga dimensi produksi sosial itu, Lefebvre merumuskan tiga karakter dari ruang sebagai produk sosial:

  • Perceived space: setiap ruang memiliki aspek perseptif dalam arti ia bisa diakses oleh panca indera sehingga memungkinkan terjadinya praktik sosial. Ini yang merupakan elemen material yang mengjonstitusi ruang.
  • Conceived space: ruang tidak dapat dipersepsi tanpa dipahami atau diterima dalam pikiran. Pemahaman mengenai ruang selalu juga merupakan produksi pengetahuan.
  • Lived space: dimensi ketiga dari produksi ruang adalah pengelaman kehidupan. Dimensi ini merujuk pada dunia sebagaimana dialami oleh manusia dalam praktik kehidupan sehari-hari. Kehidupan dan pengalaman manusia menurutnya tidak dapat sepenuhnya dijelaskan oleh analisa teoritis. Senantiasa terdapat surplus, sisa atau residu yang lolos dari bahasa atau konsep, dan seringkali hanya dapat diekspresikan melalui bentuk-bentuk artistik.

Ketiga elemen ini, menurut Lefebvre mendasari seluruh pemaknaan kita mengenai masyarakat dan perkembangannya. Sejarah bagi Lefebvre merupakan sejarah ruang, yakni dialektika antara praktik ruang dan persepsi ruang (le perçu), representasi ruang atau konseptualisasi ruang (le conçu) dan dimensi-dimensi residual yang tumbuh dalam pengalaman kehidupan dan tidak dapat dikerangkakan oleh konsep mengenai ruang itu (le vécu).

Di sini, Lefebvre mendasarkan diri pada dua tradisi filsafat sekaligus yakni materialisme dan idealisme.

Dengan itu ruang, di dalam Lefebvre, selalu didirikan atas kondisi-kondisi material yang konkret, pada saat yang sama kondisi-kondisi material dibentuk dan disimbolisasi ke dalam konsep dan tatanan mengenai ruang. Namun pada saat yang sama, terlepas dari berbagai konseptualisasi dan saintifikasi mengenai ruang, ruang juga senantiasa terdiri dari pengalaman hidup manusia yang aktif.

Dimensi ketiga mengenai dimensi kehidupan dan pengalaman manusia ini penting dikemukakan karena sekaligus menunjukkan perbedaan mendasar antara Lefebvre dengan Foucault. Analisis ruang yang dikemukan oleh Foucault menempatkan ruang sebagai aparat pengetahuan dan kuasa yang dibentuk oleh berbagai teknologi politik dan sains (misalnya kartografi dan geografi tumbuh sebagai implikasi dari kolonialisme). Foucault menekankan koneksi teknologi politik dan strategi pengetahuan sebagai matriks “spatio-temporal” kekuasaan dalam transisi dari kekuasaan absolutis ke masyarakat yang terdisiplinkan (termasuk dalam hal ini adalah disiplin industri sebagai unit epistemologis). Sementara Lefebvre, menekankan koneksi antara dominasi spasial dengan tahap-tahap societalization dari kapitalisme yang ditandai dengan tendensi totalisasi dalam urbanisasi. Jadi bukan industri dan disiplinnya, juga bukan kelas dan produksi yang secara homogenik menentukan, melainkan “keurbanan” dan bentuk kehidupan sehari-hari yang beragam yang menentukan kehidupan sosial kita.

Dengan mengajukan konsep triadic mengenai ruang, Lefebvre mengajak kita untuk memikirkan sejarah ruang. Produksi sosial atas ruang berkaitan dengan mode produksi dan berbagai penataan sosial di dalamnya. Perubahan dalam mode produksi dan budaya di dalamnya mengungkap perubahan dalam produksi ruang, demikian sebaliknya. Lefebvre menekankan bahwa perubahan dalam suatu mode produksi mesti mengikutsertakan produksi ruang secara baru.

Ruang, Negara dan Kapitalisme Kontemporer

Bagi Lefebvre dominasi kapitalisme di dunia barat bersifat parallel dengan produksi ruang abstrak melalui fragmentasi sosial, homogenisasi dan hirarkisasi. Dalam anasliasinya mengenai relasi ruang dan negara Lefebvre menyampaikan argument bahwa dalam periode kemunculannya, negara mengikatkan dirinya kepada ruang melalui relasi yang senantiasa berubah secara kompleks. Negara lahir dan tumbuh dalam ruang serta hancur musnah juga di dalam ruang. Relasi antara negara dan ruang digambarkan oleh Lefebvre sebagai berikut:

  1. The Production of Space. Melalui teritori nasional, sebuah ruang fisik, terpetakan, termodifikasi, ditransformasi oleh jaringan, alur kalas. Jalan raya, kereta api, komersial dan finansial sirkuit, dan sebagainya. Ini merupakan ruang material di mana berbagai tindakan berbagai generasi manusia, kelas, dan berbagai kekuasaan politik menacapkan tanda mereka.
  2. The Production of a social space as such. Ruang sosial yang teredifikasi secara hirarkhis melalui penataan institusional, melibatkan hukum yang dikomunikasikan melalui suatu bahasa nasional. Ia nampak dari berbagai simbol yang mencerminkan nasionalitas, ideologi, representasi, pengetahuan yang terkait dengan kekuasaan. No institution without space! Keluarga, sekolah, kerja, ibadah senantiasa mengandaikan ruang.
  3. Comprising a social consensus (not immediately political). Negara senantiasa menempati sebuah ruang mental, yakni soal bagaimana negara direpresentasikan dalam konstruksi rakyatnya. Ruang mental ini tidak boleh dicampuradukkan dengan ruang fisik atau ruang sosial.

Mode produksi kapitalis menurut Lefebvre juga memproduksi ruangnya sendiri, melalui proses simultan sebagai berikut:

  1. Kekuatan-kekuatan produksi, di sini ruang berkenaan dengan kemunculan agglomeration economies;
  2. Relasi produksi dan pemilikan (dimulai di mana ruang dapat diperjual belikan, termasuk aliran, perputaran dan jaringan di dalamnya);
  3. Ideologi dan instrumen kekuasaan politik (sejak ruang menjadi basis bagi rasionalitas, teknostruktur dan kontrol negara);
  4. Produksi nilai lebih (investasi dalam urbansiasi, udara, industri turisme yang mengeksploitasi pegunungan, laut, villa); realisasi nilai lebih (pengorgansiasian konsumsi kota dalam kehidupan sehari-hari dan kekuasaan birokratik untuk mengkontrol konsumsi); alokasi nilai lebih (sistem perbankan dalam real estate).

Dalam sudut pandang tertentu, manakala ekspansi capital menguat, kewajiban untuk memastikan kondisi-kondisi dominasi diselenggarakan oleh negara. Dalam rangka itu, negara melakukan strategi sebagai berikut:

  1. Memecah oposisi melalui pendistribusian kelompok-kelompok masyarakat ke dalam ghetto-ghetoo;
  2. Menegkan sistem hirarkhi dengan basis relasi kekuasaan;
  3. Mengendalikan keseluruhan system.

Ruang yang muncul dari praktik negara yang demikian akan berciri sebagai berikut:

  1. Homogen: sama secara keseluruhan. Di sini kita menemukan model tempat dan momen yang diorganisasikan dalam bentuk kehidupan sehari-hari secara seragam yakni: kerja, keluarga dan kehidupan pribadi (perencanaan leisure);
  2. Terpecah-pecah. Bukan hanya mengenai bagaimana kelompok-kelompok sosial disegregasikan ke dalam ruang sosial yang berbeda-beda, juga bagaimana kehidupan diorgansiasikan berdasarkan cluster-cluster yang terpisah dan berbeda. Misalnya di sini pengaruh fordisme yang memilah antara: rumah, tempat kerja, tempat istirhat dan tempat hiburan;
  3. Hirarkis: ketaksetaraan merupakan hasil yang pasti dalam sistem pertukaran ruang ini. Ruang ditata secara tak sama dalam relasinya dengan pusat-pusat: pusat komersial dan admisnitratif menuju ke pingiran. Segregasi dilanjutkan. Di titik ini hirarki ruang ditata dan kemudian tampil dalam hirarki ruang. Hirarki ruang itu dibangun dengan tiga mekanisme dasar yakni: everydayness (waktu dan praktik yang diprogamkan dalam ruang); spasialitas (relasi pusat dan pinggiran); pengulangan (repetitive) yakni reproduksi identik dalam kondisi di mana perbedaan dan partikularitas dihapuskan.

Hak Atas Kota

Salah satu jalan ke luar yang diajukan oleh Lefebvre untuk menghancurkan “ruang abstrak” yang dibangun oleh kapitalisme dan negara adalah mengajukan apa yang ia sebut sebagai “hak atas kota”. Etienne Balibar menafsirkan hak atas kota itu sebagai perluasan keadilan dan kesamaan bagi warga kota. Namun demikian Lefebvre sendiri menekankan bahwa “talking about the right to the city would be a way of indicating that the city becomes as such a polis, a political collectivity, a place where public interest is defined and realized”.

Dengan membicarakan Hak atas kota kita membicarakan kota sebagai polis, sebagai sebuah kolektivitas politik di mana seluruh warga memiliki kesempatan dan kesamaan untuk merealisasikan dirinya secara penuh guna mencapai kebahagiaan.

Hak atas kota mensyaratkan tumbuhnya suatu modus kewargaan yang baru yakni warga-kota, yang tidak mesti secara serta-merta dipertentangkan dengan konsep yang lebih besar yakni warganegara. Klaim hak sebagai warga-kota tidak mesti berarti merelokasikan klaim identitas kewargaan kita dari nasional ke lokal. Kewargakotaan kita tidak menegasikan kewarganegaraan kita. Hak atas kota atau dalam istilah awal Lefebvre, Hak Atas Kehidupan Urban, adalah hak yang ditujukan dalam kerangka sosial ketimbang teritorial. Karena kota, bagi Lefebvre bukanlah semata-mata hanya boundary of a city, melainkan juga keseluruhan sistem sosial produksi di dalamnya. Dengan demikian Hak Atas Kota merupakan klaim warga untuk dikenal dan diakui sebagai kreator berbagai relasi sosial, warga sebagai penguasa ruang sosialnya dan untuk hidup berbeda-beda di dalamnya. Senada dengan Lefebvre, Holston menekankan kembali tiga bentuk dasar kewargaan dalam kota yakni: kota sebagai komunitas politik primer, kedua penghuni urban sebagai kriteria keberanggotaan dan basis bagi mobilisasi politik; ketiga formulasi klaim-hak atas pengalaman hidup perkotaan dan berbagai performa wargawi.

Penutup

Kita hidup dalam kota yang ditata dalam modus fordisme yang cacat. Dalam fordisme yang lengkap; alienasi sebagai konsekuensi dari tatanan hirarki kerja industrial kapitalis ditutupi secara sederhana dengan waktu luang atau leisure. Kota di mana kini kita hidup mendominasi kita dengan alienasi fordisme di satu sisi, sambil melarang kita untuk menikmati leisure. Bahkan dalam kerangka yang paling sederhana, bagi kelas menengah yang tumbuh sebagai penghuni kompleks-kompleks yang kini mejamur, akses kepada leisure, sarana untuk reproduksi sosial bersama keluarga juga sulit dilakukan secara nyaman akibat buruknya kondisi ruang publik. Keseluruah kebijakan perkotaan ini merupakan representasi dari “ruang abstrak” yang mendominasi kita.

Kota kita dibangun atas kontradiksi antara praktik spasial yang sangat dideterminasi oleh kapitalisme dan fordisme: mall, perusahaan angkutan, pertokoan, kios, sablon, perumahan, real estate, namun direpsentasikan secara spasial oleh sistem narasi ideologi yang bersifat thanatos: kematian, akhirat, relijiusitas, dan sebagainya. Akibatnya, kota ini tidak tumbuh dalam penghargaan untuk merayakan hidup dan pengalaman bersama warganya. Bukan semata-mata karena ruang publik yang sempit, melainkan juga karena warga dipecah tidak hanya dalam ghetto-ghetto kelas melainkan juga sistem identitas.

Satu langkah kecil mesti segera dimulai, bukan untuk menyelamatkan siapa-siapa, melainkan untuk menegakkan kembali hak setiap warga atas kota secara kolektif. Menjadikan kota kembali sebagai polis!

 

Dr. Robertus Robet adalah pengajar di Jurusan Sosiologi, Universitas Negeri Jakarta. Penulis dan ko-penulis sejumlah buku dan monograf di antaranya: Menuju Kewarganegaran Substantif di Indonesia (P2D, 2006), Republikanisme dan Keindonesiaan (Marjin Kiri, 2006), Politik Hak Asasi Manusia dan Transisi di Indonesia (ELSAM, 2008), Kembalinya Politik (Marjin Kiri, 2008), Manusia Politik: Subyek Radikal dan Politik Emansipasi di Era Kapitalisme Global Menurut Slavoj Žižek (Marjin Kiri, 2010) dan Sosiologi Kewarganegaraan: Dari Marx Sampai Agamben (Marjin Kiri, 2014)

This entry was posted in Makalah. Bookmark the permalink.

Leave a comment